Karya : Leni Aulia N
Gembira di wajah Udin secerah langit tengah hari. Ia duduk di bale-bale bambu sembari menantikan penjelasan ibunya tentang syurga. Tidak ada hal ini yang bisa membuat Udin begitu gembira sekaligus penasaran sosok Bapaknya. Maka ia akan merengek-rengek dan bertanya tentang surga, sebab setiap kali ia bertanya tentang bapaknya. Maka ibunya selalu memberi satu jawaban yang disukainya, "Bapaknya ada di surga".
"Di Surga aku bisa bertemu dengan bapak?" Tanya Udin. "Oh, tentu, di sana bapak menunggu kita kau bisa bertemu bapak di surga asal kau rajin Salat, Nak Kau sudah Solat?" tanya Ibu
"Aku baru selesai shalat dzuhur Mak" Jawab Udin riang
"Iya baguslah" Jawaban Ibu sembari mengusap kening anaknya "Kau pasti bertemu bapak di surga." Udin mengangguk kemudian meraih tangab ibunya , " Aku pergi dulu Mak, Mang Kasim pasti sudah menunggu di dermaga, Assalamualaikum." Sembari mencium tangan Julaiha ibunya. "Walaikumsallam, hati-hati nak" Sambil Julaiha memandangi tubuh Udin yang kecil. Udin selalu merindukan bapaknya, sungguh sebuah kerinduan yang tak akan pernah sampai ke muara.
Selepas pulang sekolah Udin pergi ke dermaga menemui Mang Kasim dengan perahunya. Mang Kasim kerap mengajak Udin mengantar hasil bumi dari desa- desa di pesisir yang hendak dijual ke Kota Kabupaten jalur sungai, menjadi pilihan penduduk satu-satunya, sebab jalan beraspal belum sampai ke desa mereka.
Biasanya selesai membantu Mang Kasim Udin akan duduk di dermaga sampai senja. Tempat itu sebenarnya tidak layak disebut dermaga, tapi penduduk sekitar sudah menyebut dermaga. Hanya ada sebuah gubuk kecil beratap daun hipah dan beberapa tonggak kayu untuk menautkan tali perahu di sana. Gubuk itu milik Mang Kasim, letaknya tepat menghadap ke Sungai dan perbukitan.
Udin pernah diceritakan guru agamanya, bahwa di surga mengalir sungai-sungai dan gunung-gunung bercahaya, senja yang berkilau dan mengoleskan pendarnya di permukaan. Surga berwarna kemerahan yang membungkus perbukitan, membuat Udin menjiwai apa yang diceritakan guru agamanya.
"Mang, pernah pergi ke Surga?" Tanya Udin. Pada lelaki berubah yang sedang duduk di sampingnya menjerat jala yang terkoyak. Siang hari sudah berganti menjadi senja, ketika Udin melempar tanya kepada Mang Kasim.
Lelaki itu terkekah "Kalau mau pergi ke Surga, berarti aku harus mati dulu Din."
"Kalau begitu bapakku sudah mati" pandangan bocah itu melesat menebus.
Awan-awan pirau di langit, bola mata itu berkaca-kaca "Ibu selalu bilang kalau bapak ada di surga"
Mang Kasim menghelas nafas "Iya ibumu memang benar, bapakmu ada di Surga"
Mang Kasim menatap wajah Udin dengan disamaki rasa haru, terlihat dari tatapannya, lelaki tua itu sangat menyayangi Udin. Masih lekat dalam ingatannya ketika Sobari dikatakan tewas 10 tahun silam. Ketika itu Udin masih di dalam perut Julaiha. disiang naas itu, ia dan orang-orang menandu Sobari yang mati ditimpa kayu di hutan keliling.
"Kenapa harus orang lain duluan, aagar bisa ke Syurga?" Tanya Udin memecah lamunan Mang Kasim. Lelaki tua berkulit tembaga itu tercenung, ia kehilangan kata-kata. Mang Kasim mencari kata yang paling mudah untuk dicerna pikiran kanak-kanak. Seekir capung hinggap di ujung daun keladi, kemudian terbagi lagi. Capung itu menjentik-jentikan ekornya di permukaan surga yang mengalir begitu tenang "Kau pernah melihat capung dari punggung kumbang air?" Tanya Mang Kasim. Menghabiskan waktunya di pinggir sungai. Mustahil ia tak tahu cikal bakal adanya capung yang ia kerap tangkap bila ia sedang merasa bosan, lantaran tak ada muatan, jika arus sungai tidak bersahabat.
"Seperti itulah mungkin cara menuju Surga" jawab Mang Kasim sebisa-bisanya.. kumbang air harus mati dulu agar bisa menjadi capung yang bersayap dan dapat terbang ke banyak tempat.
Matta Udin berbinar mendengar penjelasan itu, "Oh, jika aku punya sayap dan bisa terbang, aku bisa nyusul bapak ke Surga" katanya sambil ia berdiri merentangkan tangan seperti bersiap untuk terbang. "Jangan dulu, kau masih terlalu muda" Kata Mang Kasim, lelaki tua itu tertawa hambar, lalubia menggantung jala dan meneguk kopi yang mulai dingin ditiup angin. Ada rasa pahit yang mengantar di dada lelaki tua itu. Rasa pahit yang berbeda dari rasa pahit kopi yang disesapnya.
Sesaat Udin terdiam, kepala kecil itu mengangguk-angguk senyum terkulum dibiarnya. Senyum misterius yang hanya Udin yang tahu. Apa rahasianya? Bocah itu bangkit dari duduknya berlari cepat meninggalkan Mang Kasim, tegak di lantai papan dermaga. "Hai Udin mau kemana?"
"Aku mau pergi ke Sungai" jawab Udin. Tanpa menoleh, ia berlari sambil merentangkan tangan
Kali ini dengan mengepok-ngepok tangannya seolah betul-betul sedang terbang. Udin makin jauh meninggalkan dermaga dan Gubuk Mang Kasim. Lelaki itu hanya bisa tersenyum saat menatao tubuh Udin yang lenyap kebalik tikungan setapak yang ditumbuhi Semak Lalang.