Karya : Syahir Abdul. R
Menyebalkan sekali laki-laki itu. Aku hampir saja terjatuh dari minibus tadi. Sudah tahu minibus ini penuh sesak. Masih saja dia mendorong-dorong penumpang lain seperti tadi. Dasar tidak sabaran. Huh! Pagi ini kacau sekali. Aku bangun terlambat, kena omelan Gagah karena terlambat, hampir terjatuh dari minibus dan yang paling menjadi beban pikiranku saat ini, ibu sedang marah padaku.
Sempurna. Ibu sepertinya amat sangat marah kepadaku tentang kejadian tadi malam. Terbukti, pagi ini ibu tidak membangunkanku seperti biasanya dan hanya diam saat sarapan pagi. Astaga, bagaimana aku harus menjelaskannya? Sungguh, tadi malam itu hanya obrolan ringan saja di telepon. Tidak lebih. Lagi pula aku tidak memiliki hubungan apapun. dengan Aria. Aku hanya terpaksa mengangkat teleponnya, karena dia bilang butuh teman bercerita dan kebetulan aku juga belum mengantuk tadi malam. Ya Tuhan, mengapa jadi serumit ini permasalahannya?
Aku sebenarnya bersalah juga, mengapa tadi malam aku malah berbohong pada ibu? Ya ampun.. Tadi malam itu aku takut sekali. Takut ibu mengira yang tidak-tidak, jadi aku terpaksa berbohong kalau telepon itu dari Nafa. Dan ternyata kebohongan itu memang tidak bertahan lama. Ibu sebenarnya sudah tahu apa yang terjadi. Dan kebohongan itu sama sekali tidak berguna sekarang. Tetapi ini juga salah ibu. Beliau terlalu sering menduga-duga sesuatu yang salah. Aku tidak menyukainya. Dan itu membuatku takut berkata jujur pada ibu.
Minibus ini berjalan lambat dan penuh sekali. Padahal biasanya dihari minggu seperti ini minibus sepi penumpang. Aku sudah tidak sabaran sekarang. Ingin rasanya berteriak meminta
supir minibus ini untuk cepat. Tapi aku masih punya etika. Tentu saja jika aku melakukannya aku malah bersikap tidak sopan. Bersabarlah Ana.
Habislah aku, aku harus siap-siap diceramahi Gagah karena telat. Aku menyesal. Seharusnya kemarin aku tidak perlu berjanji datang pukul tujuh pagi.
"Permisi nduk," ucap seorang nenek yang hendak duduk disebelahku. Memecahkan lamunanku tentang masalahku hari ini. Aku hanya menjawab sapaan beliau dengan tersenyum. Sedikit memaksa tersenyum. Karena sepanjang hari ini aku sama sekali belum tersenyum.
Aku memperhatikan nenek ini. Guratan wajahnya sedikit menggambarkan siluet kesedihan, tetapi pesona wajahnya keibuan serta ramah membuat wajah beliau terlihat cerah.. Posturnya sedikit gendut tetapi keriput itu sudah memenuhi sebagian besar kulit tubuhnya. Kutaksir umurnya menginjak usia sekitar enam puluh tahunan. Tetapi masih cukup terlihat sehat.
"Mau kemana nduk?" tanya beliau sembari merapikan tas kecil yang dibawanya. Aku tersadar setelah beberapa detik sibuk mengamati beliau.
"Mau ke kota, nek." Ucapku singkat.
Nenek itu hanya mengangguk dan ber "oh" pendek dan kembali sibuk dengan tas kecil yang ada dipangkuannya.
"Nenek sendiri hendak kemana?" tanyaku sedikit basa-basi untuk memecah keheningan diantara kami meskipun sebenarnya disini ramai sekali-.
Beliau tersenyum, kemudian meletakkan tali tas kecilnya. dipundak kanan beliau. "Saya ingin mengunjungi anak saya yang
ada di Kota, nduk. Sudah lama dia tidak mengunjungi nenek. Biasanya dia rutin mengunjungi nenek setiap dua minggu sekali. Tetapi ini sudah empat minggu berlalu tanpa kabar dan dia belum datang kerumah ibu lagi, nduk. Nenek khawatir terjadi. apa-apa dengannya, nduk." ucap beliau sembari tersenyum.
Aku terenyuh mendengarnya. Dan seketika raut wajah ibu tadi pagi memenuhi pikiranku. Ya Tuhan, aku merasa bersalah pada ibu. Tapi, tetap saja. Toh ini sebenarnya salah ibu. Kebiasaan ibu menuduhku membuatku mejadi takut jujur padanya.
"Kekahawatiran orang tua kepada semua anaknya tidak akan pernah berkurang, nduk" ucap nenek tiba-tiba. Beliau tersenyum kepadaku. "Kasih sayang orang tua tidak akan pernah habisnya. Orang tua pasti menginginkan hal-hal baik terjadi pada anaknya. Pun ketika mereka memarahimu, ketika mereka. menegurmu. Itu semua mereka lakukan karena mereka mencintai anak-anaknya. Ya, cinta. Cinta dan kasih sayang yang tidak akan pernah ada habisnya."
Aku terdiam. Bayangan wajah ibu pagi tadi benar-benar sempurna memenuhi pikiranku. Perasaan bersalah ini.. Kekhawatiran ini. Oh, Tuhan..
"Siapa namamu, nduk?"tanya nenek membuyarkan. pikiranku.
"Ana nek," jawabku singkat.
Nenek tersenyum. Kemudian meraih tangan kananku. Aku heran dibuatnya, apa yang akan nenek lakukan? Menculikku? Aku semakin bingung dibuatnya.
"Ana, pernahkah ibu menegurmu ketika kau menerima telepon dari seorang laki-laki?" wajah beliau begitu. menentramkan hatiku. Ya Tuhan, itu seperti kejadian tadi malam.
"Pernah nek," aku tidak karuan dibuatnya. Perasaan. bersalah ini, kekhawatiran ini. Ya Tuhan..
"Apa yang kau pikirkan tentang ibumu ketika itu?" nenek memandangku dalam-dalam. Tapi aku hanya diam dibuatnya. Sepertinya pertanyaan beliau tidak perlu ku jawab. "Ana, ibumu melakukan itu karena ibumu teramat menyayangimu. Beliau. mengkhawatirkanmu. Takut jika kau sampai dekat dengan orang yang tidak benar, nduk. "aku makin terdiam dibuatnya.
"Ana, kau mungkin sudah dewasa. Tetapi kekhawatiran, kasih sayang dan cinta orang tua kepada anak-anaknya tidak memiliki batas. Kesih sayang mereka dan kekhawatiran mereka tidak berhenti ketika kamu sudah dewasa, nduk, Rasa itu akan tetap ada, sampai kapanpun. Ana, kau lihat nenek tua ini bukan?" nenek tersenyum dan aku mengangguk sembari. memperhatikan beliau dan apa yang beliau ucapkan. "Ya, seperti yang nenek katakan. Kasih sayang orang tua tidak berhenti ketika anak-anaknya beranjak dewasa. Nenek masih tetap menghawatirkan anak-anak nenek meskipun mereka sudah dewasa dan merasa sudah tidak perlu lagi diperhatikan seperti anak kecil." Nenek tersenyum kepadaku.
Aku benar-benar ingin menangis dibuatnya. Nenek benar. Ya Tuhan, aku sekarang jadi benar-benar merindukan ibu. Aku ingin meminta maaf pada ibu soal kejadian tadi malam. Yal Tuhan. Bodohnya aku.
"Jaga dirimu baik-baik dan sayangilah orang tuamu." Ucap nenek sesaat sebelum turun dari minibus ini.
Aku hampir menangis, "Terimakasih banyak nek, " nenek hanya mengangguk kemudian tersenyum dan menghilang dibalik kerumunan orang-orang dijalan.
Pikiranku semuakin kacau. Aku ingin segera pulang dan meminta maaf pada ibu atas kebohonganku tadi malam. Maka setelah turun dari minibus, aku segera berlari menghampiri teman-temanku dipojok taman kota.
"Lama sekali." Ucap Gagah sedikit ketus.
Aku tidak menjawabnya. Aku buru-buru membuka tasku dan kemudian sibuk mencari map coklat didalam tas. Teman- teman yang lain sibuk memperhatikanku tanpa banyak bicara. Sementara wajah Gagah sudah merah padam karena sebal sekali dengan kelakuanku.
Nah! Dapat. Aku langsung menyerahkan map coklat itu kepada Gagah yang sekarang keheranan. "Ini semua isinya data- data yang dibutuhkan untuk rapat sekarang. Maaf aku membuat kalian lama menunggu." Ucapku tergesah-gesah. "Maafkan aku juga karena hari ini aku tidak dapat mengikuti rapat ini. aku. bergegas meninggalkan Gagah dan teman-teman yang lain. tanpa banyak bicara.
"Hei Anal Mau kemana kau?" Nana meneriakiku dari kejauhan.
"Ada hal penting yang harus aku selesaikan." Ucapku sambil berlari mendekati minibus yang akan membawaku putar arah.
Aku terduduk dipojok kursi penumpang. Air mataku sudah tidak dapat kutahan. Aku memeluk erat tas yang kubawa.. Menutupi wajahku dari orang-orang didalam mini bus ini.
"Maafkan Ana, Ibu....."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERKOMENTAR