karya:Vitrya Oktaviyani
Tampak sosok lelaki bertubuh agak gelap duduk menghadap ke arah jendela. Sesekali mengaduk sendok pada jusnya. Sesekali pun mengecek handphone untuk menantikan kabar. Posisi yang benar-benar menunggu.
“Ale...!!”
Terdengar suara perempuan dari arah pintu masuk cafe. Yang dipanggil pun menengok dan melambaikan tangan dengan girang. Sang perempuan, Mala namanya, segera menuju Ale. Aroma lavender tercium oleh Ale dari tubuh Mala. Perempuan cantik nan anggun itu entah mengapa telah menjatuhkan hati kepada Ale—lelaki kosan sederhana.
Menjadi mahasiswa baru di ibukota, membuat mereka saling jatuh cinta. Pertemuan pertama mereka adalah gerbang menuju kehidupan Ale dan Mala yang baru. Dan aku, selalu sendiri melihat mereka di pojok dunia yang tak tampak. Memandang dengan iba apa yang telah terjadi pada Ale selepas kecelakaan itu.
“Mal, ada yang mau aku omongin,” Ale bersua menatap Mala yang masih memesan makanan.
“Hmm,” Mala bergumam lalu menutup buku pesanan dan menatap Ale. “Kamu nggak bakal ngomongin putus kan?”
Ale menatap lekat pancaran nanar mata Mala. Pikiran negatifnya justru hal tersebut akan terjadi, meski Ale pun tak mau itu terjadi. Sesungguhnya ia hanya ingin menyampaikan kebenaran, walau justru hal itu sangatlah menyakitkan.
“Aku tak bisa melupakan Jinan. Ia amat melekat di aku, di hatiku. Apakah lebih baik...”
“Stop! Aku tahu maksud kamu apa. Jinan sudah tenang dan itu bukan salah kamu, bukan, Le.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Mala. Benar, kecelakaan yang kami alami berdua bukanlah salahnya, bukan salah siapa-siapa. Tapi, Ale selalu berpikir itu salahnya dan ia tak bisa melupakanku, walaupun ia sudah berusaha mencobanya dengan Mala.
“Mala, terima kasih sudah membantuku sejauh ini. Kamu yang tahu rasa sakitku seperti apa. Tetapi, aku yang tahu sendiri batas kesanggupanku seperti apa. Dan aku nggak mau berbagi rasa sakit itu denganmu. Aku nggak mau nyakitin kamu. Jadi, hargai keputusanku untuk tak pernah bisa melupakan Jinan.”
Satu per satu air mata Mala terjatuh. Sementara Ale bangkit berdiri, menepuk pundak Mala lembut, dan pergi meninggalkannya. Entah aku harus sedih atau senang Ale tak bisa melupakanku. Tetapi, sementara ada air mata wanita lain yang ditinggal Ale pergi. Di ujung dunia, aku berharap Ale menemukan kebahagiaanku, walau tanpaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERKOMENTAR